Rabu, 07 Maret 2012

Cerita Inspiratif Anak Indonesia

Garuda Berkumandang

Rivelson Saragih – Anggota Peacekeepers Misi Kemanusiaan di Lebanon Selatan

Tak pernah terbayangkan olehku bahwa suatu hari aku akan membawa nama besar bangsa Indonesia ke kancah pergaulan Internasional. Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di negara konflik bernama Lebanon ini, udara pergaulan terasa tidak begitu nyaman. Maklumlah, negara ini sedang dilanda konflik yang berkepanjangan. Sehingga hal yang wajar bila ada yang datang ke negara ini akan dipelototi dan dicurigai oleh penduduk setempat sebagai orang-orang yang kelak juga akan menjajah negaranya.

Konflik yang terus menerus antara Lebanon dengan negara-negara di sekelilingnya memang sudah berlangsung cukup lama. Belum lagi konflik internal yang terjadi di dalam negara ini yang juga terus terjadi bertubi-tubi. Penduduk di sini sudah hampir pesimis dengan masa depan negara mereka. Ini juga yang menyebabkan hanya 4,1 juta jiwa penduduk negara yang masih tinggal di Lebanon. Sekitar dua kali lipatnya justru merasa lebih tenang berdiam diri di negara-negara Eropa dan Afrika.

Pada awalnya memang cukup susah bergaul dan bersahabat dengan penduduk lokal, terutama karena biasanya faktor sekte sangat dominan dalam proses bersosialisasi. Negara ini bagai sedang berjalan di atas kulit telur, yang sewaktu-waktu bisa pecah perang.

Faktor-faktor inilah yang membuat hatiku sedikit kecut untuk menjalin hubungan yang lebih akrab dengan penduduk lokal, padahil tugas yang kuemban sebagai duta misi kemanusiaan di wilayah yang sedang berkecamuk konflik mengharuskanku bergaul dengan mereka. Bagaimana mereka bisa menerimaku? Sedangkan kedekatan bangsa-bangsa Eropa saja mereka tolak mentah-mentah. Padahal negara seperti Itali dan Perancis sudah memberikan bantuan yang cukup banyak bagi negeri ini, mulai membangun sekolah sampai rumah sakit level IV.

Karena ini adalah pengalamanku pertama kalinya menjadi duta bangsa di dunia internasional, ada sedikit rasa minder yang kualami. Namun aku menguatkan hati dan berkata pada diri sendiri bahwa aku sebagai duta Indonesia harus optimis dengan tugas yang sudah dipercayakan negara di pundakku.

Sedikit demi sedikit dan secara perlahan namun pasti, setiap hari aku sempatkan untuk bersosialisasi dengan penduduk lokal. Terkadang pula kuberikan oleh-oleh kecil khas Indonesia seperti mainan wayang golek, yang dibalas dengan semangkuk buah zaitun yang sudah diasinkan. Setiap aku mendapatkan undangan minum kopi di rumah penduduk, tak pernah aku lewatkan, walau kadang perutku terasa mual ketika dimasuki jamuan makanan khas Lebanon yang bernama Tabuli (sejenis sayuran hijau dan tomat yang diiris-iris, dicampur dengan garam serta dimakan bersama asinan buah zaitun) serta diselingi dengan minum minyak zaitun yang sudah diolah.

Setelah menginjak bulan ke-5 berada di negara ini, hal-hal yang tadinya aku takutkan ternyata berubah 180 derajat. Keingintahuan penduduk lokal akan Indonesia ternyata begitu besar. Rasa simpati mulai terasa. Apalagi setelah aku membawakan beberapa potong pakaian batik sebagai oleh-oleh dari Indonesia dan sebuah peta Indonesia yang dibuat dari bahan batik khas Solo. Beberapa orang mulai peduli dengan kebenaran akan ribuan pulau yang ada di Indonesia dan ratusan suku yang berdiam di dalamnya serta dengan ratusan bahasa digunakan oleh setiap daerah dan suku tetapi tetap berdiri dengan nama Indonesia.
Aku bisa merasakan bulu kudukku merinding manakala seorang penduduk lokal menyapa. Mereka bukan memanggil namaku, tetapi dengan suara lantang dan keras penduduk tersebut berteriak, ”GARUDA!”.

Seingatku, aku hanya pernah menceritakan sekilas pada penduduk lokal bahwa Garuda adalah lambang negara yang digunakan oleh bangsa Indonesia. Tetapi saat ini, tidak saja penduduk lokal yang akrab memanggilku atau teman-teman Indonesia lainnya dengan panggilan GARUDA, tapi juga seluruh anggota misi kemanusiaan mulai memanggil orang-orang Indonesia dengan panggilan GARUDA.

Dan banyak dari anggota misi kemanusiaan ini akhirnya tahu bahwa Indonesia yang begitu besar dan memiliki banyak perbedaan bahasa, budaya, suku dan sebagainya, namun semua adalah GARUDA yang berada di bawah naungan sang Merah Putih. Sebagian orang dari 33 anggota negara misi pun semakin rajin berkunjung ke camp kami yang diberi nama Sudirman Camp. Mereka datang hanya untuk membaca sepenggal amanat Panglima Besar Sudirman yang tercetak jelas pada sebuah batu alami yang tertulis on 8th Januari 1957, President Soekarno dispatched the first mission as UN Peacekeepers. He was giving high spirit, saying that army was called GARUDA.

Suatu ketika seorang pilot dari Itali bertanya, “Bagaimana mungkin Indonesia bisa tetap rukun dan damai dengan segala macam perbedaan yang ada? Padahal orang-orang Indonesia di bagian Barat pasti tidak semua bisa mengerti budaya dan bahasa orang-orang Indonesia di Timur”. Dia juga menyatakan keheranannya, “Mengapa orang-orang Indonesia bisa begitu cepat bergaul dan diterima oleh penduduk lokal disini?”. Seorang anggota Movkon (Movement Controll) dari Denmark juga bertanya “Bagaimana anda bisa bekerja dan tersenyum kepada setiap orang yang belum tentu anda kenal?”.

Aku ketika itu menjawab bahwa dengan mengunjungi Indonesia satu atau dua kali barulah anda akan memperoleh jawabannya. Dan saat itu pula lah aku merasakan betapa bangganya aku sebagai anak Indonesia. Betapa bersyukurnya aku dilahirkan sebagai salah satu anak bangsa Indonesia dan berkesempatan untuk mengibarkan semangat Merah Putih ke penjuru dunia, yang sudah enam puluh lima tahun berdiri tegak di tanah pertiwi. Dan aku mulai yakin bahwa tugasku sebagai anggota pecekeepers dalam misi kemanusiaan ini akan sedikit dipermudah dengan mulai dikenalnya orang-orang Indonesia sebagai manusia yang ramah, bersahabat, dan murah senyum. Satu hal yang menjadi kewajibanku saat ini sampai akhirnya nanti kembali dari misi ini adalah menebarkan senyum dan pesona Indonesia kepada dunia. Dan teruslah berkumandang, GARUDA, di seluruh dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar