Mi Instan di Afganishtan
Windu Prasetio – Pekerja Kemanusiaan di Kabul, Afganistan
Saya pernah bekerja untuk organisasi internasional di Banda Aceh
pasca tsunami, ketika semua yang ada di permukaan buminya lenyap hanya
dalam waktu sekejap. Selama hampir 3 tahun saya berada di Aceh.
Keindahan alam di Banda Aceh dan sekitarnya sangatlah menarik dan
perubahan cuacanya sangat ekstrim. Jarang sekali saya melihat langit
berwarna merah muda.
Setelah dari Aceh, saya mendapat kesempatan untuk bekerja di bidang
kemanusiaan di luar negeri, tepatnya di Kabul, Afghanistan. Alam di kota
Kabul yang dikelilingi gunung selalu mengigatkan saya kepada Banda
Aceh.
Pada awal-awal tinggal dan bekerja di Kabul, semua orang menanyakan
saya dari mana. Ketika saya bilang saya dari Indonesia, respon mereka
ternyata sempat membuat saya terkejut. Kebanyakan orang Afghanistan
mengatakan, “Wah, saya sering mendengar tentang Indonesia, sebuah negara
yang indah!” begitu katanya. Sebagai anak Indonesia tentunya sangat
bangga mendengar itu. Kawan-kawan ekspatriat pun biasanya memberi reaksi
yang cukup mengejutkan. Ternyata mereka tidak cuma melulu mengenal Bali
saja. Banyak juga yang tahu tentang Yogyakarta, Bandung, Medan dan
Jakarta.
Ada kawan saya yang berasal dari Jerman
mendapat kesempatan untuk mengunjungi Jakarta. Ketika dia kembali ke
Kabul, dia mengatakan betapa terkejutnya ketika dia melihat Jakarta
untuk pertama kalinya, karena dia tidak menyangka bahwa Jakarta adalah
benar-benar kota metropolitan.
Di Kabul, saya juga tidak pernah lupa untuk bercerita bahwa Indonesia
sangatlah patut untuk dikunjungi. Tak sia-sia juga rupanya promosi ini.
Salah satu kawan saya yang berasal dari Kanada berkata suatu hari bahwa
dia akan berlibur ke Indonesia dan akan mengirim email ke saya untuk menyakan tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Satu hal yang saya sering lakukan di Kabul adalah mengundang
kawan-kawan ekspatriat dan Indonesia untuk makan bersama di mana saya
(yang kebetulan gemar memasak) sering membuat masakan Indonesia, seperti
rendang, dendeng balado, bihun goreng, pecel, gado-gado dan bakwan.
Berada jauh dari tanah air yang paling membuat rindu, di samping
keluarga, adalah makanannya. Pernah satu kali setelah kembali ke Jakarta
untuk berlibur, saya kembali ke Kabul dengan membawa banyak bahan-bahan
makanan dari Indonesia, seperti bumbu pecel, bumbu gado-gado, emping
manis pedas, peyek kacang, bahkan saya juga membawa batang sereh dan
daun jeruk. Bahan-bahan seperti itu tidak bisa saya dapatkan di Kabul.
Kalaupun ada pasti sudah dikeringkan atau dikemas dalam kaleng. Bahkan
tahu pun hanya saya dapat beli dalam kemasan kaleng. Rasanya tidak
seenak tahu segar yang biasa saya beli di pasar tradisional di Jakarta,
tapi paling tidak bisa menghilangkan rasa rindu saya akan rasa tahu.
Tapi sayangnya tidak ada yang menjual tempe di Kabul.
Kawan-kawan Indonesia di Kabul sering membawa oleh-oleh, dan satu hal
yang tidak boleh dilupakan adalah mi instan dari Indonesia. Mi instan
menjadi seperti harta karun selama saya hidup di Kabul. Padahal sewaktu
saya masih tinggal di Indonesia, saya sangat jarang mengkonsumsi mi
instan.
Indonesia adalah negara tempat saya dilahirkan, tempat saya menimba
ilmu dari tingkat SD sampai ke bangku kuliah, dan tempat dimana orang
tua, kakak, keponakan, sepupu, om, tante dan semua kawan-kawan saya
berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar