Rabu, 07 Maret 2012

Cerita Inspiratif Anak Indonesia - 2

Semoga Indonesia Bangga!!

Wina Miranda – ibu rumah tangga, pengajar bahasa Inggris di Luanda, Angola, Africa

Beberapa waktu lalu, iseng-iseng saya mengedarkan kuesioner pendek di antara teman-teman saya yang berkebangsaan asing. Salah satu pertanyaannya adalah, “Dalam 3 kata sifat, sebutkan gambaran Anda mengenai Indonesia, berdasarkan apa yang Anda cermati dari saya?
Mungkin ada yang beranggapan saya narsis. Mungkin ada yang berkomentar “Siapa loe?”
Saya adalah anak Indonesia dan seperti anak bangsa yang lain, saya adalah duta buat bangsa saya. Bagi mereka yang belum cukup beruntung untuk menginjakkan kakinya di tanah Indonesia, saya adalah satu-satunya bentuk perwakilan Indonesia di mata mereka. Walaupun akhir-akhir ini, saya mungkin harus sedikit bersaing dengan media elektronik yang senang menjual berita sensasional (yang belum tentu membanggakan) tentang Indonesia.
Saya pertama kali menetap di Afrika sekitar 2 tahun yang lalu. Kebetulan, daerah tempat kami tinggal dihuni oleh tenaga kerja asing lain yang juga ditempatkan di Afrika. Awalnya mereka bingung melihat cara hidup orang Indonesia. Mereka kadang bertanya, kenapa saya tidak beralas kaki ketika di rumah, kenapa saya mengharuskan anak saya menambahkan sapaan “paman” atau “bibi” untuk memanggil supir dan pembantu, dan mengapa saya selalu membawa buah tangan ketika berkunjung.
Tetangga juga terkadang bingung karena saya sering mengirim makanan ke rumah mereka. Ketika perayaan Idhul Adha, saya selalu mengirim lontong komplit untuk mereka. Ketika anak saya berulang tahun, nasi kuning lengkap tidak lupa saya kirimkan. Ketika anak mereka berulang tahun, saya sempatkan untuk membantu atau sekedar mengirim kue bolu. Tapi bagi saya, tidak ada yang aneh dan luar biasa. Saya orang Indonesia, inilah cara saya dibesarkan oleh ibu saya dan bagi saya tetangga adalah keluarga.
Konsep tetangga adalah keluarga, merupakan konsep yang asing di dunia barat. Di mana fasilitas pendukung sosial begitu rapi dan tertata, kebutuhan menjalin silaturahmi antar tetangga pun menipis. Apabila ada kesulitan, tinggal menelpon ke nomor sekian-sekian. Tapi ke nomor berapa saya harus menelpon ketika saya harus “meminjam” beberapa buah tomat? Ke nomor berapa tetangga saya harus menelpon untuk menitipkan putrinya yang berusia 3 tahun, karena dia harus pergi berbelanja kilat ke supermarket? Semapan apapun fasilitas pendukung sosial suatu negara, tetangga adalah bentuk jejaring sosial yang terdekat.
Tapi yang hampir selalu menjadi pertanyaan adalah kenapa saya dan keluarga kelihatannya bahagia tinggal di Afrika. Di daerah tempat saya tinggal, kemacetan lalu lintas adalah makanan sehari-hari, tetapi saya merasa beruntung karena tidak harus menggunakan kendaraan umum seperti warga lokal di sini. Tempat saya tinggal dialiri listrik dan air 24 jam sehari, suatu fasilitas yang hampir tidak mungkin dimiliki oleh warga lokal. Banyak ‘kemewahan’ yang kami dapat sebagai tenaga kerja asing di sini, dan rasanya sombong sekali apabila saya tidak bisa mensyukuri itu semua.
Dulu saya sering menganggap bahwa orang Indonesia terlalu santai. Tapi setelah mengamati kehidupan di negara-negara lain, saya sadar bahwa kata yang tepat bukanlah “santai”, tapi orang Indonesia mengerti bagaimana cara ber-”sabar” dan ber-”syukur”. Kemampuan bersabar dan bersyukur adalah aset unik yang mulai langka, terutama di negara-negara dimana sukses selalu diukur dalam bentuk kuantitatif. Padahal, dua hal inilah yang menghasilkan perasaan “cukup”. Lagi-lagi sebuah perasaan yang mulai langka ditemukan.
Jadi, apakah respon dari kuesioner saya?
“beautiful, interesting, fascinating, multicultural, contrasted, open, tolerant, spiritual, inspiring”
Saya sangat tersanjung mendapatkan respon ini, karena dari seluruh responden hanya satu responden yang pernah tinggal di Indonesia. Artinya, hampir semua gambaran ini mereka dapatkan dari saya, satu orang anak bangsa. Karena saya adalah anak Indonesia dan seperti anak bangsa yang lain, saya adalah duta buat bangsa saya.
Kebetulan saya lahir jauh setelah perang kemerdekaan usai, jadi saya tidak ikut berperang melawan penjajah. (Selain membayar pajak) Rasanya hampir tidak ada yang telah saya kontribusikan pada negara. Hanya pujian-pujian akan bangsa Indonesia inilah yang dapat saya berikan pada negara. Saya harap bangsa ini bangga memiliki saya. Karena saya bangga jadi anak Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar