Semoga Indonesia Bangga!!
Wina Miranda – ibu rumah tangga, pengajar bahasa Inggris di Luanda, Angola, Africa
Beberapa waktu lalu, iseng-iseng saya mengedarkan kuesioner
pendek di antara teman-teman saya yang berkebangsaan asing. Salah satu
pertanyaannya adalah, “Dalam 3 kata sifat, sebutkan gambaran Anda
mengenai Indonesia, berdasarkan apa yang Anda cermati dari saya?
Mungkin ada yang beranggapan saya narsis. Mungkin ada yang berkomentar “Siapa loe?”
Saya adalah anak Indonesia dan seperti anak bangsa yang lain, saya
adalah duta buat bangsa saya. Bagi mereka yang belum cukup beruntung
untuk menginjakkan kakinya di tanah Indonesia, saya adalah satu-satunya
bentuk perwakilan Indonesia di mata mereka. Walaupun akhir-akhir ini,
saya mungkin harus sedikit bersaing dengan media elektronik yang senang
menjual berita sensasional (yang belum tentu membanggakan) tentang
Indonesia.
Saya pertama kali menetap di Afrika sekitar
2 tahun yang lalu. Kebetulan, daerah tempat kami tinggal dihuni oleh
tenaga kerja asing lain yang juga ditempatkan di Afrika. Awalnya mereka
bingung melihat cara hidup orang Indonesia. Mereka kadang bertanya,
kenapa saya tidak beralas kaki ketika di rumah, kenapa saya mengharuskan
anak saya menambahkan sapaan “paman” atau “bibi” untuk memanggil supir
dan pembantu, dan mengapa saya selalu membawa buah tangan ketika
berkunjung.
Tetangga juga terkadang bingung karena saya sering mengirim makanan
ke rumah mereka. Ketika perayaan Idhul Adha, saya selalu mengirim
lontong komplit untuk mereka. Ketika anak saya berulang tahun, nasi
kuning lengkap tidak lupa saya kirimkan. Ketika anak mereka berulang
tahun, saya sempatkan untuk membantu atau sekedar mengirim kue bolu.
Tapi bagi saya, tidak ada yang aneh dan luar biasa. Saya orang
Indonesia, inilah cara saya dibesarkan oleh ibu saya dan bagi saya
tetangga adalah keluarga.
Konsep tetangga adalah keluarga, merupakan konsep yang asing di dunia
barat. Di mana fasilitas pendukung sosial begitu rapi dan tertata,
kebutuhan menjalin silaturahmi antar tetangga pun menipis. Apabila ada
kesulitan, tinggal menelpon ke nomor sekian-sekian. Tapi ke nomor berapa
saya harus menelpon ketika saya harus “meminjam” beberapa buah tomat?
Ke nomor berapa tetangga saya harus menelpon untuk menitipkan putrinya
yang berusia 3 tahun, karena dia harus pergi berbelanja kilat ke
supermarket? Semapan apapun fasilitas pendukung sosial suatu negara,
tetangga adalah bentuk jejaring sosial yang terdekat.
Tapi yang hampir selalu menjadi pertanyaan adalah kenapa saya dan
keluarga kelihatannya bahagia tinggal di Afrika. Di daerah tempat saya
tinggal, kemacetan lalu lintas adalah makanan sehari-hari, tetapi saya
merasa beruntung karena tidak harus menggunakan kendaraan umum seperti
warga lokal di sini. Tempat saya tinggal dialiri listrik dan air 24 jam
sehari, suatu fasilitas yang hampir tidak mungkin dimiliki oleh warga
lokal. Banyak ‘kemewahan’ yang kami dapat sebagai tenaga kerja asing di
sini, dan rasanya sombong sekali apabila saya tidak bisa mensyukuri itu
semua.
Dulu saya sering menganggap bahwa orang Indonesia terlalu santai.
Tapi setelah mengamati kehidupan di negara-negara lain, saya sadar bahwa
kata yang tepat bukanlah “santai”, tapi orang Indonesia mengerti
bagaimana cara ber-”sabar” dan ber-”syukur”. Kemampuan bersabar dan
bersyukur adalah aset unik yang mulai langka, terutama di negara-negara
dimana sukses selalu diukur dalam bentuk kuantitatif. Padahal, dua hal
inilah yang menghasilkan perasaan “cukup”. Lagi-lagi sebuah perasaan
yang mulai langka ditemukan.
Jadi, apakah respon dari kuesioner saya?
“beautiful, interesting, fascinating, multicultural, contrasted, open, tolerant, spiritual, inspiring”
Saya sangat tersanjung mendapatkan respon ini, karena dari seluruh
responden hanya satu responden yang pernah tinggal di Indonesia.
Artinya, hampir semua gambaran ini mereka dapatkan dari saya, satu orang
anak bangsa. Karena saya adalah anak Indonesia dan seperti anak bangsa
yang lain, saya adalah duta buat bangsa saya.
Kebetulan saya lahir jauh setelah perang kemerdekaan usai, jadi saya
tidak ikut berperang melawan penjajah. (Selain membayar pajak) Rasanya
hampir tidak ada yang telah saya kontribusikan pada negara. Hanya
pujian-pujian akan bangsa Indonesia inilah yang dapat saya berikan pada
negara. Saya harap bangsa ini bangga memiliki saya. Karena saya bangga
jadi anak Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar